Minggu, Oktober 05, 2008

heritage : tembok kota batavia


kubu Cilemborg - tembok kota sisi Museum Bahari - kubu Zeeburg - tembok kota sisi utara

Tembok Kota Batavia, Aset Kota Tua yang Terlupakan

KOMPAS | Minggu, 6 Mei 2001 | oleh : Aditya W Fitrianto

UPAYA pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan daerahnya dengan mulai menciptakan suatu jalur wisata-Jakarta city tour terasa kurang lengkap tanpa mencoba menawarkan suatu alur prosesi yang berdasarkan sejarah pembentukan kota Jakarta itu sendiri.

Jika kita mencoba menengok sedikit ke belakang tentu (sebagian dari) kita mengetahui bahwa Jakarta berawal dari sepu
tar kawasan Sunda Kelapa, di bagian utara kota kita ini. Tetapi, yang diingat tentu saja hanyalah Museum Bahari dengan Menara Syahbandar yang sudah bertambah miringnya dan suasana Pasar Ikan yang selalu sibuk. Terkadang warga kota maupun aparat pemda/ badan pengelola kawasan kurang memperhatikan bahwa di seputar kawasan tersebut masih terdapat sisa tembok kota Batavia yang pada masa lalu mengelilingi wilayah yang sekarang disebut Jakarta Kota...

Sepintas lalu tembok kota tersebut hanyalah seperti pagar pembatas bangunan bekas gudang yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari. Tetapi, bila kita amati lebih dalam, berawal dari area Menara Syahbandar dari sekitar abad ke-17 merupakan kubu pertahanan bernama Culemborg yang terletak persis menghadap kubu barat laut dari Benteng/Kastil Batavia-saat ini bangunan benteng tersebut sudah tidak ada sisanya sama sekali-kemudian menerus sepanjang tembok disisi gudang (Museum Bahari) miring ke arah utara hingga tembok tersebut berbelok membentuk kubu pertahanan yang cukup besar bernama Zeeburg, lalu menerus ke arah barat hingga terhenti sampai jalan tembus baru.

Inilah satu-satunya bagian dari sisa Tembok Kota yang selama abad ke-17 dan ke-18 melindungi kota Batavia! (A Heuken SJ, 1996])

Dilihat dari sisi Museum Bahari, tembok kota tersebut tidaklah terasa bila dahulunya merupakan tembok yang melindungi kota terhadap ancaman dari luar karena terkesan biasa saja. Tetapi, bila kita amati area kubu Zeeburg dan tembok yang menerus ke arah barat, akan terlihat bagian tembok kota yang masih utuh dan asli!

Di sana kita dapat berjalan dengan leluasa di atas tembok kota dibandingkan pada tembok di sisi museum yang hanya terdapat jalur untuk berjalan yang relatif lebih sempit. Pada kedua ruas tembok kota tersebut-sisi timur bersebelahan dengan Pasar Ikan dan sisi utara berseberangan dengan Kampung Luar Batang-memiliki sebuah gardu jaga berbentuk kapsul tegak, sebagai tempat berlindung serdadu sambil tetap melakukan pengintaian maupun perlawanan melalui luban kecil di gardu tersebut.

Di sudut pertemuan kedua ruas tersebut terdapat kubu pertahanan Zeeburg yang cukup besar dan dengan bentuk bastion-nya yang khas-dulu di dalamnya sempat terdapat bangunan baru untuk gudang milik telkom, tapi saat ini sudah kosong dan bangunannya sudah rata dengan tanah-bila kita dapat mengintip akan terlihat bentuk kubu tersebut seperti tergambar pada peta-peta lama kota Batavia. Saat ini bila dilihat dari luar, kubu tersebut tertutup permukiman padat dan kumuh sehingga selama ini orang tidak sadar akan keberadaannya.

Dibandingkan kubu Culemborg tempat Menara Syahbandar, kubu pertahanan Zeeburg tersebut lebih terasa nuansa tembok pertahanannya, mengingat ukuran bastion-nya yang lebih besar dan lokasinya yang merupakan kubu pertahanan terdepan yang menghadap laut bagi kota Batavia.

Pada masa lalu kawasan Pasar Ikan beserta permukiman padat di sekelilingnya memang bukan tanah daratan seperti saat ini melainkan tepi laut!

Sayangnya, sisa bagian dari tembok kota Batavia tersebut tidaklah dapat dilalui atasnya dengan gampang, mengingat ruas yang tersisa itu terbagi dalam beberapa kepemilikan kavling. Area kubu Culemborg dan tembok sisi timur milik Museum Bahari, kubu Zeeburg milik Telkom, dan tembok sisi utara milik swasta yang menggunakan kawasan tersebut sebagai gudang. Kawasan seputar sisi dalam sisa Tembok Kota ini di masa lalu disebut Gudang di Tepi Barat (Westzijdsche Pakhuizen).

Di kavling milik swasta tersebut di sisi belakang Museum Bahari sebenarnya terdapat beberapa aset kota tua lain berupa sebuah gudang batu seusia bangunan museum dan deretan gudang kayu yang cukup menarik dari abad ke-18. Dan menurut pakar, bentuk gudang kayu seperti itu merupakan satu-satunya di dunia! Tetapi, seperti banyak banguanan tua di kawasan itu, gudang-gudang tersebut tidak terawat dan bahkan sebagian mulai runtuh atapnya.

Aset penting

Sadar atau tidak, suka atau tidak sisa tembok kota Batavia yang dibangun Belanda tersebut merupakan salah satu cikal-bakal bagi kota kita Jakarta! Ironisnya hampir semua usulan perencanaan revitalisasi di kawasan itu baik yang dibuat swasta/akademisi bahkan badan pengelola kawasan selalu menghapus/menghilangkan sisa dari salah satu aset penting dari kota Batavia tersebut.

Perlu rasanya pihak pemerintah Provinsi DKI Jakarta melindungi sisa tembok kota itu sebagai salah satu aset bangunan tua yang harus dilestarikan. Mungkin di masa datang, kawasan seputar sisa Tembok Kota itu dapat lebih dikembangkan sebagai titik awal prosesi jalur wisata kota dan menjadi salah satu bagian dari tujuan wisata kota tua di Jakarta.

*Aditya W Fitrianto, arsitek dan perancang kota, warga peduli bangunan tua di Jakarta.


urban : wajah jakarta



Akankah Jakarta Memelihara "Wajahnya" ?
KOMPAS | Senin, 26 Februari 2001



RAMAINYA rencana penataan Bundaran Hotel Indonesia (HI) yang dibangun sekitar 28 tahun lalu, setidaknya menyadarkan bagaimana Pemerintah DKI Jakarta memelihara "wajah"atau kesejarahannya.

Bila mengacu kepada sebuah ulasan mengenai kota-kota terbaik di Asia dari suatu majalah mingguan (Asiaweek, 15 Desember 2000), kita perlu malu mengingat Ibu Kota-kebanggaan negara-Jakarta hanya menduduki peringkat 29 di Asia. Peringkat itu turun satu peringkat dari tahun sebelumnya.

Posisi itu mendudukkan Jakarta sebagai peringkat terjelek di antara kota-kota di negara ASEAN. Dan, sementara kita masih berbenah dengan segala kebobrokan sistem birokrasi, kota-kota negara tetangga itu sudah mulai memikirkan pentingnya menjaga dan memelihara "wajah" kota masa lalu. Mereka menganggapnya hal itu sebagai suatu aset yang penting di masa kini.

Tanpa terus berlarut dalam keterpurukan, Jakarta perlu benar-benar mulai memikirkan mempertahankan aset-aset berupa "wajah" kota masa lalu itu, yang memang memiliki kekhasan dan kekayaan tersendiri. Hal itu perlu, sebelum akhirnya perkembangan modernitas yang berjalan pesat telanjur lupa memperhatikan salah satu "jiwa" dari sebuah kota ini.

Manfaat paling jelas yang dapat diambil dalam memelihara aset "wajah" kota masa lalu antara lain sebagai atraksi yang baik bagi turis mancanegara, dan juga sebagai bahan untuk mempelajari perkembangan arsitektur Indonesia. Jangan lupa, sejarah adalah bagian dari proses menuju kehidupan masa depan yang lebih baik.

***

BICARA "wajah" kota masa lalu tidak terbatas dalam pengertian memelihara atau mempertahankan suatu bangunan tua (tunggal). Akan tetapi, juga perlu dilihat dari skala kota/kawasan secara keseluruhan. Jadi juga perlu mempertahankan ruang-ruang kota dengan segala penunjangnya secara terintegrasi. Hal ini yang sering tidak terpikirkan oleh pihak pemda setempat dalam menuangkannya pada perangkat panduan rancang kota wilayah bersangkutan.

Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape).

Di Menteng misalnya masih dapat dilihat beberapa elemen jalan seperti (sisa) elemen penunjuk jam dekat Stasiun Cikini, elemen komersial di median Jalan Teuku Umar maupun warung sudut jalan yang mungkin sudah tidak menjadi perhatian dalam suatu konsep preservasi kawasan tersebut. Taman sudut jalan lengkap dengan jenis tanaman pun perlu mendapat perhatian untuk ditata/tampilkan kembali dalam bagian konsep itu.

Banyak contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan. Di Jakarta sebenarnya sudah ada pembagian kawasan-kawasan seperti itu, misalnya Jakarta Kota sebagai kawasan museum, Menteng serta Kebayoran Baru sebagai kawasan hunian.

Akan tetapi, yang terjadi adalah penghilangan/penghapusan aset "wajah" kota masa lalu tersebut. Lagi-lagi hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan-atau pura-pura tidak tahu-dari warga masyarakat maupun oknum aparat pemerintah daerah (pemda) serta tentu saja kurangnya pengawasan dari instansi terkait pemda.

Ketidakjelasan dan kurangnya informasi konsep preservasi kawasan tertentu yang sudah dibuat pemda juga menjadi bagian kegagalan Jakarta memelihara "wajah" kota masa lalunya yang sudah berjalan selama lebih dari 25 tahun!

Dalam upaya memelihara dan mengembangkan suatu kawasan bernuansa masa lalu memang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemda setempat. Tetapi kiranya-dan seharusnya-mereka dapat memotivasi masyarakat berpartisipasi dalam mewujudkannya (bukannya berkolusi dengan bagian masyarakat ekonomi kuat untuk menghapuskannya pelan-pelan).

Di masa yang serba transparan seperti saat ini perlu memang pemda untuk lebih giat menginformasikan secara luas dan mefasilitasi masyarakat umum maupun pemilik aset dengan pakar/akademisi/bagian masyarakat yang peduli terhadap masalah ini.

Sekali lagi siapa yang akan memelihara "wajah" kota masa lalu Jakarta selain kita sendiri yang merupakan bagian dari warga Ibu Kota ini.

*oleh : Aditya W Fitrianto | arsitek dan perancang kota, warga peduli bangunan tua di Jakarta.