Jumat, Juli 31, 2009

heritage : metropole





Bioskop ‘Metropole’ :

gemerlap tahun 1955 dan masa kini yang pudar dan kusam





KOMPAS | Minggu, 26 Januari 2003

Pudarnya Gemerlap Metropole

Oleh: Aditya W Fitrianto


JIKA kita bertanya kapada orang-orang tua atau teman yang hidup di Jakarta semasa dekade tahun 1950-an hingga tahun 1960-an tentu mereka tidak akan lupa pada salah satu tempat menonton film cukup bergengsi di seputar Menteng, Jakarta Pusat, yaitu Metropole.

Berbeda dari masa sekarang ketika para anak muda maupun keluarga akan pergi ke mal untuk berekreasi atau sekadar mencari hiburan mulai dari menonton, makan, atau berbelanja, pada masa pertengahan abad ke-20 itu menonton film adalah sesuatu hal yang cukup bergengsi dan mahal. Jadi tidak heran bila bioskop-bioskop pada masa itu terlihat megah dan meriah layaknya mal-mal saat ini. Bioskop menjadi semacam magnet bagi kawasan tempatnya berada sehingga membuat kawasan di sekitarnya juga menjadi lebih hidup.

Dengan bergulirnya waktu dan zaman yang berbeda, terjadi pula perubahan yang cukup berarti bagi sebuah kompleks bangunan komersial. Metropole yang dulunya selalu dikunjungi orang mulai ditinggalkan. Kebutuhan manusia akan hiburan semakin lama semakin kompleks. Mereka tidak hanya butuh menonton, tetapi juga alternatif aktivitas dan rekreasi lain.

Banyak gedung-gedung bioskop besar dengan kapasitas tempat duduk besar yang gulung tikar karena kurangnya penonton. Tidak sedikit bioskop yang akhirnya dibongkar dan digantikan dengan fungsi baru seperti mal atau menjadi biokop baru dengan konsep beberapa studio (cineplex). Tidak ketinggalan Metropole pun akhirnya harus menyerah oleh zaman dan mulai berbenah dengan membagi ruang studionya dibagi menjadi beberapa studio yang kini dikenal sebagai Cineplex Megaria.

Identitas kawasan

Bioskop Metropole berdiri sekitar tahun 1950 dan dirancang oleh arsitek Belanda Han Groenewegen (Suatu Pertalian Budaya, 1995). Gedung ini menempati area yang sangat strategis, yaitu di sudut persimpangan dua jalan yang cukup ramai, Jalan Cikini-Jalan Proklamasi (Pegangsaan Timur) dan Jalan Diponegoro (Oranje Boulevard).

Jalan Cikini adalah salah satu batas tepi sisi timur kawasan perumahan bergengsi Menteng. Jalur ini merupakan salah satu kawasan penunjang (commercial corridor) yang berisi bermacam fasilitas umum seperti kantor pos, deretan pertokoan, kebun binatang (kini menjadi Taman Ismail Marzu-ki), sekolah, pasar, stasiun kereta api, hotel hingga bioskop.

Jalan Diponegoro adalah merupakan salah satu jalan penghubung utama dari Salemba ke jantung Menteng. Saat itu Salemba merupakan bagian dari jalur utama Kota Jakarta, poros Monas-Senen-Salemba-Jatinegara. Berbeda dengan sekarang di mana jalur ini telah menjadi poros kedua dari jalur poros Monas-Thamrin-Sudirman-Kebayoran Baru.

Posisi ini juga menjadi penting karena merupakan salah satu penanda memasuki kawasan Menteng yang dimanfaatkan dengan baik oleh Groenewegen dengan membuat bangunan yang cukup monumental dan berarsitektur khas Menteng.

Arsitektur bangunan

Kompleks Metropole cukup menarik diamati karena memiliki konsep penggabungan beberapa kegiatan seperti layaknya superblok mini. Di dalam kompleks ini terdapat dua massa bangunan, satu bangunan utama berbentuk memanjang membujur timur-barat dan sebuah lagi dengan bentuk massa kotak di sebelah timur di belakang bangunan utama.

Bangunan utama berlantai dua ini terdiri dari bioskop dengan toko-toko kecil di sekelilingnya seperti tempat bercukur, restoran, jajanan khas, wartel dan lainnya. Bangunan ini memiliki satu pintu masuk utama di bagian barat dan satu pintu masuk di samping selatan.

Dulu, dari foyer kedua pintu masuk itu ada dua tangga yang cukup besar mengapit pintu masuk utama menuju ke lantai atas tempat masuk ke studio. Kini tangga itu telah ditutup dan dipakai sebagai tempat informasi film. Yang tersisa tinggal sedikit handrail dan railing tangga ujung bawah saja.

Sedangkan bangunan kotak berlantai empat yang berada di belakangnya ini memiliki fungsi kegiatan perkantoran. Saat ini dua lantai bagian bawah di sisi selatan digunakan sebagai fungsi toko swalayan. Tiap lantai terbagi dua area, sisi utara dan selatan dengan di tengahnya terdapat akses tangga. Inilah yang menarik dari bangunan ini yaitu dengan disediakannya akses tangga bersama menuju ke semua lantai, sehingga tiap lantai mempunyai akses langsung keluar dan dapat ditempati pemilik atau penyewa berbeda.

Secara keseluruhan gaya arsitektur bangunan yang diusung oleh Groenewegen pun cukup menarik, terlihat pada massa bangunan utama yang berbentuk seperti kapal dengan "kepala"-nya sebagai pintu masuk utama. Ornamen garis vertikal yang rapat mencoba untuk mengurangi bentuk massa yang terlalu solid, kemudian dipadu dengan komposisi menara yang diletakkan di bagian sudut yang cukup strategis terlihat dari arah Menteng maupun Jalan Proklamasi.

Ini merupakan perpaduan yang manis dari variasi gaya Art-Deco Tropis dengan De Stilj yang monumental, dan mungkin sudah menjadi satu-satunya bentuk bangunan seperti ini yang masih asli di Kota Jakarta. Sayangngya, bagian ornamen penting ini kini malah tertutup oleh deretan papan reklame film!

Cagar budaya

Metropole telah memasuki usia setengah abad lebih, kemegahannya telah menjadi salah satu penanda kawasan dan menyumbangkan sebuah karakter kota bagi warganya. Kiranya perlu mendapat perhatian, baik dari pihak Pemprov DKI Jakarta maupun organisasi profesi/masyarakat untuk memasukkan Metropole sebagai salah satu aset bangunan cagar budaya untuk dilindungi supaya tidak terlupakan atau bahkan terhapus oleh pesatnya perkembangan kapitalisme kota.

Melindungi bukan berarti tidak ada perkembangan. Revitalisasi sebuah kompleks strategis tetap diperlukan, tetapi sebaiknya kita dapat bertindak arif untuk tidak menghilangkan keseluruhan atau bagian tertentu dari bangunan memiliki karakter kawasan yang cukup kuat.

Megaria sekarang tidaklah sama dengan Metropole dulu. Saat ini kompleks ini sudah terlihat tidak terawat dan hanya menjadi tujuan menonton film kelas dua di Jakarta. Tidak ada gemerlap lampu, tidak ada deretan mobil mewah parkir, hanya seonggok bangunan monumental dengan arsitektur khas yang mulai kusam dan pudar...

*) Aditya W Fitrianto, arsitek, pemerhati jejak pusaka kota dan arsitektur


Tidak ada komentar: